Selasa, 12 April 2011

ESTO

Sunarhadi (55), kondektur Bus ESTO jurusan Salatiga-Ambarawa, tersenyum getir melihat penumpang bus tak lebih dari 10 orang saat keluar dari perbatasan Kota Salatiga, Jawa Tengah, Minggu (25/5) siang. Dia khawatir satu rit perjalanan akan rugi. Ongkos yang terkumpul tak cukup untuk membeli solar yang terpakai.


Hingga memasuki Ambarawa, jumlah penumpang tak juga bertambah. Lebih dari 40 bangku kosong. Uang yang terkumpul dalam satu rit itu tak lebih dari Rp 25.000. Padahal, tiap rit atau sekali jalan, bus menghabiskan 6-7 liter solar atau Rp 33.000 hingga Rp 38.000 dengan harga solar kini Rp 5.500 per liter.

Sebagian penumpang ada yang dipungut ongkos lebih tinggi Rp 500 hingga Rp 1.000 dari harga normal, yaitu Rp 2.000 hingga Rp 3.000. Ada yang bayar dengan harga normal dan ada yang menerima kenaikan harga ini. ”Saya ditarik Rp 4.000, tetapi ya sudah, harga BBM naik, mau protes percuma,” kata Ari Harsudi (49), penumpang asal Sidomukti, Salatiga.

Kenaikan harga ”malu-malu” ini diakui Sunarhadi dan sopir bus, Sudadi (57). Mereka masih pilih-pilih karena penumpang rute Salatiga-Ambarawa umumnya terbatas. Mereka mengetahui belum ada penetapan harga baru, tetapi kenaikan harga solar Rp 1.200 per liter mulai 24 Mei membuat ongkos saat ini tidak lagi menguntungkan.

”Kenaikan harga BBM betul- betul memukul. Sebelumnya, perusahaan bus kami sulit bertahan, tetapi dengan keadaan ini, kebangkrutan di depan mata. Padahal, banyak orang dahulu terbantu oleh adanya perusahaan kami,” kata Sudadi.

ESTO atau Eerste Salatigasche Transport Onderneeming lebih dari 80 tahun beroperasi di Kota Salatiga. Krisis yang berkali-kali menghajar, resesi global tahun 1930-an, hingga krisis moneter tahun 1997 dapat dilalui dengan susah payah. Namun, kenaikan harga BBM, 24 Mei, dikhawatirkan memberi pukulan terakhir bagi ESTO.

Perusahaan ini mulai beroperasi terbatas laiknya taksi sejak tahun 1921. Sang pendiri, Kwa Tjwan Ing, mengembangkan usaha setelah membeli beberapa bus kecil dua tahun kemudian. Bus hanya melayani rute Salatiga-Tuntang dan Salatiga-Bringin.

Menurut penuturan Slamet (52), mantan pengelola ESTO yang kini menjadi montir, perusahaan ini berkali-kali jatuh bangun. Ketika Slamet bekerja sebagai montir, sekitar tahun 1970-an, beberapa pekerja tua menceritakan ESTO sempat diambil alih Jepang dan Belanda.

Sempat diambil alih

Dalam buku Salatiga, Sketsa Kota Lama, ESTO sempat terpukul hebat saat resesi dunia tahun 1930-an. Sebagian bus diambil alih BPM (Bataafsche Petroleum Mij/sekarang Pertamina). ESTO ketika itu terjerat utang bensin yang cukup banyak. Namun, perusahaan ini bisa bertahan dan kembali mengukir masa kejayaan sejak 1970 hingga akhir tahun 1990.

”Waktu krisis moneter, perusahaan masih bagus karena setoran mencukupi. Kami pernah dijadikan contoh karena perusahaan memerhatikan karyawan. Awak bus, selain mendapat komisi harian, juga mendapat gaji tetap. Jamsostek juga dapat sampai akhirnya dihapus,” kenang Slamet.

Namun, lanjut Slamet, ESTO goyah sejak tahun 2001 dan kian parah setelah kenaikan harga BBM tahun 2005. Dari 10 bus yang dimiliki, saat ini tersisa enam, tiga masih beroperasi dan tiga lainnya terpaksa dikandangkan karena mesin rusak.

”Empat bus yang sudah dikanibal itu laku Rp 8 juta per unit karena dijual sebagai barang bekas. Hasilnya juga untuk biaya operasional,” kata Slamet yang diserahi tanggung jawab sejak pemilik ESTO, Kwa Liong Siang, sakit tahun 1996.

Harga suku cadang yang tinggi diperparah setoran yang turun akibat harga solar meroket dari Rp 1.850 jadi Rp 4.300 per liter. Untuk mengganti suku cadang, per unit bus, memerlukan Rp 5 juta. Setoran harian tidak tentu, kadang Rp 20.000, kadang Rp 50.000 per bus.

Jangankan untuk peremajaan bus, untuk gaji montir saja mulai kesulitan. Satu bulan terakhir, enam montir belum digaji. Mereka tidak banyak menuntut karena mengetahui kondisi perusahaan. Bengkel bus juga sudah lama tak diperbaiki. Selain itu, penghasilan awak bus dan karyawan tak menentu.

Pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, mengatakan, kenaikan harga BBM dipastikan mempersulit perusahaan bus.

”Pemerintah sebenarnya bisa memberi subsidi, terutama untuk bus ekonomi yang melayani masyarakat,” katanya.

Djoko juga mengatakan, sangat disayangkan apabila perusahaan yang memiliki nilai sejarah transportasi seperti ESTO dibiarkan mati. Dia mengusulkan agar Pemerintah Kota Salatiga melibatkan diri, bisa dengan mengambil alih aset dan mengembangkan transportasi massal menggunakan ESTO, cikal bakal transportasi umum di Salatiga.

Paling tidak, jangan sampai masyarakat Salatiga kehilangan artefak berjalan dan tinggal kenangan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar